Minggu, 22 April 2012

Budaya Kejujuran


Begitu pentingnya kejujuran dan kebenaran dalam bisnis dan pengelolaan berbagai kegiatan, menyebabkan hampir semua organisasi dan lembaga meletakkan integritas, kejujuran, serta “professional honesty” sebagai faktor paling utama dalam nilai, budaya organisasi dan kompetensi. Meskipun semua menyadari pentingnya hal ini ditegakkan, namun realitanya kita menyaksikan betapa kejujuran dan kebenaran begitu rawan dibelokkan dan dilanggar. Padahal, dengan kompleksnya dunia kita sekarang, kita semakin menuntut integritas individu yang kokoh tidak tergoyahkan. Kita tentu bertanya-tanya, apakah nilai integritas cukup dengan cara dicekoki melalui sesi sosialisasi dan internalisasi budaya bagi seluruh karyawan? Apa yang salah dengan kebenaran di sekitar kita?
Kita lihat berita seorang tahanan yang bebas keluar-masuk rutan dalam masa tahanannya, menjadi pembahasan panjang, dikomentari dan menjadi headline berita. Ya, kebenaran memang dilanggar, nurani kita pun terusik. Padahal, kita juga sadar bahwa ini bukan kejadian luar biasa yang baru terjadi. Siapa yang tidak pernah mendengar kabar angin ada ‘helipad’ di penjara yang kebetulan dihuni oleh salah satu orang terkaya di Indonesia? Siapa yang tidak tahu bahwa banyak tahanan berkeliaran dan bisa pulang dengan alasan sakit ke rumah? Memberi dan menerima insentif atau suap, bukankah juga begitu sering kita temui? Disadari atau tidak, pemakaian fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi, korupsi waktu, juga kerap kita lakukan tanpa merasa bersalah, bukan? Jika kita sekarang ramai membicarakan cara memusnahkan jaringan ‘servis’ yang ada di penjara atau mematikan korupsi atau tindakan kebohongan yang beredar di setiap sudut di lingkungan kita, tentu kita pun perlu serius memikirkan kebenaran dalam tiap langkah dan perbuatan dalam diri kita dan sekitar kita juga.
Pada awal abad yang lalu penulis Oscar Wilde, menyatakan: ”The truth is rarely pure and never simple”. Dengan semakin canggihnya praktis bisnis, kita rasakan kebenaran pun memang semakin samar. Bukan tindakan korupsi yang sudah jelas-jelas salah, tetapi juga janji yang tidak ditepati, kebenaran yang ditutup-tutupi, jalan pintas, pinjaman bank dengan agunan yang tidak sama nilainya, bahkan ketidaksanggupan membayar hutang sering dipindahkan tanggung jawabnya keluar individu. “Siapa suruh banknya memberi bunga yang mencekik” demikian seorang debitur yang tidak sanggup membayar cicilan”. Hal yang mencengangkan adalah kebenaran yang sudah dikuakkan, disaksikan semua orang, bisa-bisanya diputarbalikkan, atau bahkan dilupakan secara berjamaah.
Kita bisa merasakan betapa jeritan untuk menegakkan kejujuran seolah-olah tindakan menggapai pelangi. Teman saya yang terkenal berintegritas masih mengatakan:”Yah, kalau seorang pejabat mengeluarkan begitu banyak uang untuk memperoleh jabatannya, kemudian melakukan tindak korupsi untuk membayarnya kembali, itu masuk akal…”. Kita lihat bahkan kejujuran atau kebenaran bisa begitu ‘mudah’-nya dibicarakan seakan bisa di “gunting-copot” dari pribadi kita, tergantung situasinya. Seolah-olah, secara personal mungkin seseorang bisa sangat-sangat jujur, tetapi untuk kepentingan politik, kejujuran terpaksa dibelokkan.
“Ah,teori….”Komentar ini terdengar di sebuah ruang tunggu sopir di sebuah gedung, ketika wacana mengenai pembubaran rutan yang berjaringan korupsi, penegakan disiplin, dan hukuman bagi koruptor dibicarakan. Bicara memang mudah, namun implementasi adalah tantangan yang sesunnguhnya. Kita tidak bisa menilai sebuah perusahaan, lembaga atau negara dari pernyataan, slogan dan “company profile”-nya saja. Budaya yang sebenarnya selalu ‘unspoken’, hanya bisa diobservasi. Realita kejujuran hanya bisa tergambar pada perilaku, terutama perilaku pemimpinnya, bagaimana sistem dijalankan, serta simbol-simbol yang ada secara konsisten.
Perusahaan yang mengutamakan efisiensi, pasti tidak akan sembarangan dalam menandatangani cek pembayaran dan akan melakukan negosiasi habis-habisan. Perusahaan yang mengumandangkan servis, tidak mungkin memperlakukan pelanggan atau komplen pelanggan secara asal-asalan. Pemilik perusahaan IKEA, Ingvar Kamprad, sangat menjunjung tinggi filosofi perusahaannya yang ekonomis, sederhana dan fungsionalnya. Meski terkenal kaya raya, ia membuktikan filosifinya dalam kebiasaan antri kalau ada ‘sale’, bepergian dengan kelas ekonomi, dan menjalankan hidup secukupnya secara konsisten. Di sini kita belajar untuk senantiasa mengevaluasi, seberapa jauh kita “menghidupkan” nilai-nilai kebenaran dalam tindakan sehari-hari? Apakah kebenaran baru sebatas slogan dan hiasan bibir saja, atau benar-benar sudah bisa terasa, terbaca, terlihat secara nyata oleh orang lain?
Tanpa kita sadari, pelajaran kebohongan bisa dimulai sejak kecil. “Bilang saja ayah sedang tidak di rumah….” Demikian perintah seorang ayah yang menolak berbicara di telpon. Bisa juga tindakan jujur seorang anak, tidak sempat di ‘reward’ oleh orang tua ataupun gurunya. Misalnya saja, bila seorang anak mengembalikan barang yang sangat menarik, milik temannya, disaksikan oleh gurunya, ia tidak mendapat pujian yang layak, sehingga kita melewatkan momentum pelajaran kejujuran yang berharga.
Bila saja mulai dari lingkungan kecil, kita dibiasakan dan diberikan contoh kongkrit agar semua orang ‘berkata jujur’, apapun konsekuensinya, kita sudah memulai gerakan kejujuran dengan baik. Apalagi bila kita “menjual” konsep bahwa dengan berkata jujur kita tidak membuat masalah semakin “ribet”. Larry Johnson dalam bukunya ‘Honesty pays”, mengatakan “Do your homework first, open the debate, open your ears, open your mouth and open your mind”. Kita memang perlu membiasakan diri untuk bersikap terbuka untuk menyatakan ketidaksetujuan, protes atau perbedaan pendapatnya. Dengan demikian, kita bisa mengikis sikap defensif dan pembiaran yang bisa membunuh semangat untuk menegakkan kejujuran. Pembuktian terhadap menangnya kejujuran adalah penyelesaian masalah yang jelas dan terbuka, sehingga setiap orang mempunyai spirit dan tetap bisa membuktikan pada dirinya sendiri bahwa sikap jujur lebih baik daripada tidak.
Kesimpulan dan Pendapat :
Menurut saya ketika kejujuran sudah tidak ada lagi dalam diri manusia maka seluruhnya akan hancur dan kacau. Kita ambil satu contoh kecil yang menurut saya nantinya akan berakibat fatal di kemudian hari. Seorang anak meminta uang kepada orangtuanya dengan alas an untuk membayar iuran disekolah yang padahal pada kenyataannya tidak ada uang iuran tersebut, sekali si anak terbiasa maka selanjutnya anak akan melakukan ketidakjujuran dalam skala yang lebih besar. Jadi benar apabila ada pepatah mengatakan tanamkan kejujuran sejak dini, Karena apabila sejak dini kini sudah menanamkan kejujuran maka kedepannya tidak akan adalagi koruptor-koruptor yang berkeliaran di negri ini.

Kamis, 19 April 2012

Dua Puluh Ribu VS Jakarta


          Pagi hari ini dibawah senyum sang mentari, tak seperti biasanya kelas XI IPA 3 sepi seperti tak berpenghuni. Ternyata mereka sedang diselimuti ketegangan, mereka sedang menunggu hasil jerih payah mereka belajar selama satu tahun dikelas XI IPA 3. Terdengar satu per satu nama dipanggil untuk menerima hasil rapot mereka. Kini suasana menegangkan perlahan pudar, berganti dengan senyuman manis yang terukir dibibir mereka, tetapi tidak dengan Dini, wajah manisnya masih saja diselimuti ketegangan. Tidak lama kemudian terdengar suara meyebut namanya. Dengan diiringi debaran jantung yang semakin kencang, Dini pun bergegas menghampiri meja guru dan mengambil rapotnya. Kini ukiran senyuman manis terpancar dan menghiasi wajahnya.
            Akhirnya saat-saat menegangkan itu pun telah berakhir. Dini bersama sahabatnya pun terlihat sangat ceria, wajah mereka tak henti-hentinya memancarkan senyuman bahagia.
“Woy!woy! gimana kalo kita rayain keberhasilan kita tahun ini dengan jalan-jalan?” ajak Dini kepada sahabat-sahabatnya
“Wah, iide bagus tuh. Tapi kita mau kemana?” jawab Nuke semangat
 “Gimana kalo kita ke Kota Tua aja?!” ajak Vania kepada sahabatnya
“Wah ok tuh, gimana yang lain? Pada seuju gak?” tanya Dini semangat
“Ok” jawab sahabat-sahabatnya serempak                                         
“Sip, berarti besok kita ke Kota Tua ya! Besok kita kumpul di stasiun Karawang jam setengah tujuh. Inget, jangan pada ngaret ya!” ucap Dini tegas
Sahabatnya pun mengangguk setuju
Jarum jam tak henti-hentinya berutar, kini arloji mungil yang dibalut warna biru milik Nuke itu meunjukkan pukul 15.00. mereka pun beranjak meninggalkan kelas dan kembali kerumah mereka masing-masing.
                                                   *** *** ***
“Aduh kemana sih si mega? Lama banget” gerutu Dini
“Udah loe sms belum?” balas Choe          
“Udah.. tapi gak dibales, kemana sih tu anak?” jawab Dini dengan nada kesal
“Mending kita masuk duluan, daripada nanti ketinggalan kereta!” ajak Regina
“Iya udah hayu kita masuk duluan aja deh” jawab Dinii setuju
Mereka pun beranjak meninggalkan tempat itu menuju kedalam stasiun. Tetapi, belum jauh mereka melangkahkan kaki mereka, terdngar suara memanggil nama mereka dan mereka pun menghentikan langkah kaki mereka.
“Hey, sory ya gua telat. Udah lama ya nunggunya? Sory banget ya!” dengan nafas  yang masih terengah-engah karena lelah berlari, Mega pun meminta maaf kepada sahabat-sahabatnya
“Iya iya gak apa-apa, yag penting kan sekarang loe udah datang. Udah yu ah cepetan masuk! Ntar ketinggalan kereta lagi” jawab Dini
            Kini mereka pun telah berkumpul. Tanpa berfikir panjang, mereka pun bergegas masuk kedalam stasiun, lalu membeli tiket kereta ekonomi jurusan Jakarta. Tak pelu meunggu lama, akhirnya mereka pun mendapatkan tiketnya dan kereta yang dituju pun tiba.
            Ditengah sesaknya gerbong kereta ekonomi itu, mereka pun beusaha mencari tempat duduk. Ketika mereka sedang sibuk mencari tempat duduk, tiba-tiba saja terdengar suara dengan nada menggoda tertuju pada mereka.
“Neng, neng, duduk disini aja!” dengan tingkah genit dan lambaian tangan si Bapak
Tanpa memperdulikan godaan si Bapak, mereka pun bergegas pergi menuju tempat duduk yang sejak tadi mereka cari. Didalam gerbong yang penuh sesak itu, mereka tetap tidak kehilangan keceriaan mereka, ukiran demi ukiran senyuman indah selalu menghiasi wajah mereka.
            Tak terasa mereka pun sampai distasiun Beos Jakarta. Saat ini jarum jam diarloji milik Nuke menunjukkan pukul 08.30. keluar dari stasiun mereka meyebrangi jalan menuju tempat tujuan mereka Kota Tua. Terlihat gedung-gedung pencakar langit berjajaran menghiasi tubuh sang ibu kota. Sebelum masuk ke Kota Tua, mereka pun berkeliling-liling disekitar Kota Tua untuk mencari penjual makanan. Perut mereka yang sejak tadi sudah berdemo karna belum terisi makanan, kini sudah tidak bisa berkompromi lagi.
“Wah ada tukang ketoprak tuh, makan yu! Laper nih gua” ajak Dini loyo
 “Ayo ah, gua juga udah laper nih” balas Choe bersemangat
Tanpa berfikir panjang mereka pun langsung memburu penjual ketoprak tersebut.
            Tanpa membuang waktu, selesai makan mereka pun langsung masuk kedalam Kota Tua. Mereka pun menikmati semua yang ada di Kota Tua.
“Wah ada ontel tuh, kita naik ontel yu!” ajak Resal semangat
“Ayo ayo, seru deh kayaknya” jawab Regina menyetujui
Resal, Regina, Choe, Dini, Mega, Vania, dan Nuke pun langsung menyerbu sepeda ontel itu. Mereka berkeliling Kota Tua dengan ontel, cukup lama mereka berkeliling dan saat ini terik sang mentari mulai membakar kulit mereka. Mereka pun menghentikan kayuhan mereka dan berteduh didalam gedung sambil melihat benda-benda bersejarah didalam museum. Kini lelah mulai mendera, mereka pun mencari tempat untuk sejenak melemaskan otot-otot kaki mereka yang mulai kaku. Mereka menemukan tempat untuk istirahat.
“Eh abis ini kita mau kemana lagi nih?” tanya Vania yang tiba-tiba membuat mereka terhenyak
“Kita ke Blok M yuk!” jawab Choe
“Tapi… bentar-bentar” ucap Dini sambil merogoh kantong celananya
“Duit gua tinggal sepuluh ribu nih. Gimana dong?” sambung Dini 
“Iya sama duit gua juga tinggal sepuluh ribu. Udah ah mendingan langsung pulang aja yuk!” ajak Mega
“Udah udah, loe semua tenang aja, sepuluh ribu cukup kok, dari sini ke Blok M nya kita naik busway aja, kan murah tuh. Udah yuk kita berangkat!” jelas Resal semangat
“Ih.. tapi kalo gak cukup gimana?” ucap Dini
“Aduh Dini, kebanyakan mikir banget deh loe. Udah ayo cepetan berangkat, ntar keburu sore” tegas Nuke
            Dengan nekatnya mereka pun langsung bergerak menuju halte busway. Mereka pun membeli tiket busway jurusan Blok M. Cukup lama mereka menunggu, akhirnya busway yang ditunggu pun datang. Mereka langsung menyerbu masuk kedalam busway. Tak seperti dikereta tadi, tanpa harus berdesakan dengan penumpang lainnya mereka langsung masuk kedalam busway dan tanpa harus mecari, mereka pun langsung mendapatkan kursi.
“Ih ntar kalo duit gua ga cukup gimana? Ntar gua ga bisa pulang” ucap Dini dengan wajah cemas
“Ya elah, loe masih mikirin soal itu? Tenang aja lagi! Loe gak bakal terlatar kok di Jakarta. Lagian loe bawa duit berapa sih?” jelas Regina berusaha menenagkan Dini
“Hahahahaha… gua cuma bawa duit dua puluh ribu” balas Dini dengan tawanya yang terbahak-bahak
“Hah?! Dua puluh ribu? Parah banget loe Din” ucap Regina dengan mata yang terbelalak
“Hahahaha… iya abis gua ga punya duit lagi, daripada gak jadi ya udah gua nekat aja bawa duit segitu” jawab Dini
Percakapan mereka pun terus berlanjut hingga akhirnya sampailah mereka di halte busway Blok M. haya dengan melangkahkan kaki sebentar saja, mereka sudah bisa sampai di pusat prbelanjaan Blok M. dengan cerianya mereka pun masuk kedalam mol besar itu. Sementara Resal, Regina, Choe, Vania, da Nuke sibuk memilih-milih baju, Mega dan Dini hanya sibuk berkeliling mol besar itu. Kini lapar mulai kembali mendera mereka. Mereka langsung menuju tempat makan didaerah sekirat Blok M. sementara yang lain memesan makanan, Dini dan Mega hanya bisa gigit jari, karna uang mereka hanya cukup untuk ongkos pulang.
“Mega Dini, loe berdua pada gak mesen makanan?” tanya Resal heran
Mega dan Dini tidak menjawab, mereka hanya tertunduk lesu.
“Udah cepet pesen makanan sana? Tenang aja, semua gua yang bayarin” lanjut Resal
“Bener  ya loe semua yang bayarin?”tanya Dini semangat  
“Iya bener, kapan sih gua bohong?” uca Resal meyakinkan
“Asikk…” teriak mereka kompak
Tanpa menunda lagi Mega dan Dini pun langsung memesan makanan. Tidak perlu menunggu lama, makanan yang mereka pesan pun telah dihidangkan dan mereka pun segera menyantapnya.
            Kini perut kosong mereka telah terisi makanan dan wajah lesu mereka pun telah berubah mejadi wajah ceria. Sesaat kebingungan meyelimuti wajah mereka semua. Tetapi, setelah makan mereka pun memutuskan untuk segera pulang. Mereka memutuskan untuk naik bus karna khawatir kereta ke Karawang sudah tidak ada. Menunggu sangat lama bus jurusan Karawang, membuat mereka takut tidak bisa pulang, tetapi akhirnya mereka pun mendapatkan bus yang mereka cari.
“Hah.. akhirnya dapet juga busnya. Capek banget nunggunya” celoteh Dini
Karna sangat lelah, tanpa sadar dini mengangkat kakinya keatas kursi dan memejamkan matanya berusaha untuk tidur. Baru saja sesaat memejamkan mata, tiba-tiba Dini terusik oleh suara sang musisi jalanan. Saat sang musisi jalanan itu menghampiri para penumpang dari satu bangku ke bangku yang lain dan akhirnya tibalah musisi jalanan itu dikursi yang Dini tempati. Musisi jalanan itu menjulurkan tangannya berharap Dini mengeluarkan selembar uang untuknya. Tetapi, karna sangat lelah Dini tidak menghiraukan musisi jalanan itu, Dini hanya menoleh sesaat dan kembali memejamkan matanya.
“Kalo bukan cewe udah gua abisin loe!” gertak sang musisi jalan dengan tubuh bertatonya
Dini tak mejawab, dia hanya terdiam takut. Tiba-tiba saja seorang ibu berbicara pada Dini
“Udah neng jangan diladenin, nanti neng diapa-apain” ucap si Ibu tersebut
Sejak kejadian itu rasa kantuk yang menyelimuti Dini berubah menjadi rasa takut. Kini langit berubah gelap dan bintang-bintang bermunculan. Arloji Nuke kini menunukkan pukul 18.35, saat itu mereka sudah sampai di lampu merah Karang Indah, saat itu juga mereka kembali kerumah mereka masing-masing.

Ternyata Hanya Mimpi


Sang malam telah pergi dan pagi pun menjelang. Titik-titik embun membasahi setiap helai daun-daun pinggir jalan. Senyum indah sang mentari yang menghiasi pagi ini menemani setiap langkah kakiku menuju istana ilmu kebanggaanku. Cukup lama aku berjalan dan sampailah aku disebuah bangunan bertuliskan SMAN 3 KARAWANG, inilah istana ilmu kebanggaanku. Ku sapa setiap orang disekelilingku dengan ukiran senyum dari bibirku. Aku pun memasuki kelas dan siap untuk menerima banyak ilmu.
“Woy sekarang biologi praktek dilab!” ujar Gema KM dikelasku.
Dengan segera kami pun langsung menuju labolatorium. Menit demi menit telah berlalu dan tibalah saatnya untuk istirahat. Kami pun beranjak meninggalkan lab dan langsung menuju kantin. Waktu istirahat telah berakhir, kami pun kembali ke kelas dan siap untuk kembali menerima banyak ilmu.
            Saat ini arloji di tanganku menunjukan pukul 13.15, sudah saatnya kami pulang. Ketelusuri sepanjang jalan menuju rumahku dengan menumpangi becak. Terik sang metari yang sangat menyengat membuat peluh mulai membasahi tubuhku.
“Aduh panas banget sih?” keluhku dalam hati   
“Gimana ya caranya supaya ga panas?” tanyaku dalam hati
Lelah mulai mendera tubuh ku. Tanpa terasa kayuhan becak ini sudah menempuh perjalanan sejauh 1 Km, tibalah aku di rumah. Ku ucapkan salam pada ibu dan langsung menuju kamar. Kurebahkan tubuhku di atas kasur dan seketika itu pun aku terlelap tidur.
*** *** ***
            Tok tok tok suara ketukan pintu itu membuyarkan lamunanku. Dengan langkah gontai aku pun menuju pintu depan rumahku dan membukanya. Kulihat seorang pria berseragam orange tersenyum dibalik pintu.
“Permisi mba, apakah ini rumah mba amalia?” tanya petugas pos itu
“Iya betul, saya amalia” jawabku
 “Saya ingin mengantarkan kiriman dari penerbit KREATIF untuk mba amalia. Silahkan tanda tangan disini!” ujar petugas pos tersebut sambil meyodorkan secarik kertas, lengkap dengan pulpennya
“Terimakasih ya mas” seruku pada petugas pos tersebut
Setelah selesai megantarkan surat itu, petugas pos itu pun bergegas melangkahkan kakinya keluar dari rumahku dan kembali mengantarkan surat kepada yang lain. Seketika itu pula aku pun kembali ke dalam rumah dan langsung membaca isi surat terebut.
“Hore novel ku diterima! Asyik dapet uang sepuluh juta!” teriakku bahagia
“Aduh ada apa sih kamu teriak-teriak gitu? Bikin ibu kaget aja” tanya ibu heran
“Gini loh bu, novel ku diterima sama penerbit yang waktu itu aku ceritain dan aku dapet uang sepuluh juta” jawabku
“Wah hebat kamu! Ibu ikut seneng dengernya. Terus mau kamu pake buat apa uang sebanyak itu?” tanya ibu lagi
“Aku juga bingung sih bu, tapi pengennya sih uang itu mau aku pake buat bikin taman disekitar sini dan aku sisakan sedikit lahan untuk program menanam seribu pohon. Ya supaya sedikit mencegah global warming lah bu, biar karawang bisa adem dikit. Terus kalo masih ada sisanya aku mau beli beberapa buku dan aku simpan di perpustakaan sekolahku. Gimana menurut ibu?” jawabku panjang lebar
“Wah bagus sekali itu ide kamu. Ibu dukung deh!” seru ibu dengan senyum manisnya
“Makasih ya bu” ujarku sambil terseyum
Tanpa berfikir panjang, aku pun bergegas menuju bank untuk mengambil uang tersebut. Tetapi, tiba-tiba saja terdengar suara keras bergema di telingaku.


 Kringggggggggg.. kringgggggggggg.. kringgggggggggg.. suara alarm hp-ku berbunyi sangat keras, sehingga membuat aku terbangun dari tidurku dengan sejuta mimpi indah yang menghiasinya.
“Ya ampun, ternyata cuma mimpi’ sesalku dalam hati sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal
“Ehmmm coba kalo beneran” khayalku dengan mata yang masih mengantuk
“Ah daripada mikirin yang ga pasti mending sekarang aku mandi” ujarku pada diri sendiri
Saat itu jam di dinding kamarku menunjukkan pukul 16.30 selesai mandi aku pun beranjak ke taman dibelakang rumahku dan menyirami tanaman-tanaman yang ada disana. Kini sang fajar mulai menampakkan wajahnya, malam akan segera kembali menyapa bumi, bintang-bintang mulai memancarkan cahaya indahnya untuk jagat raya ini. Seperti hari-hari biasanya, saat malam menjelang, ku tunaikan tugasku sebagai seorang pelajar untuk belajar.
“Ehmmm masih kepikiran mimpi yang tadi” gumamku dalam hati
“Kayaknya bakal bahagia banget deh kalo mimpi itu jadi kenyataan. Ahhh, coba kalo tabungan ku sebanyak itu, pasti bakal langsung aku realisasikan keinginan aku dalam mimpi itu. Yah semoga aja ada dermawan yang masih peduli dengan bumi ini dan mau bikinin taman di daerah sini” khayalku lagi
“Ah mengkhayal mulu dari tadi, mending belajar biar tambah pinter” gumamku pada diri sendiri
Malam semakin larut, aku masih berkutat dengan rumus-rumus matematika yang memusingkan para pelajar. Suara ibu yang memerintahkanku untuk segera tidur terdengar dari luar kamar. Akhirnya, kubiarkan seluruh organ tubuh dan system kerja otakku untuk sejenak beristirahat dan terlelap tidur dalam buaian mimpi-mimpi indah hingga mentari pagi kembali datang dan menyambutku dengan senyuman.
*** *** ***

Kamis, 12 April 2012

Budaya Membaca


Beberapa perempuan Jepang sibuk membaca di dalam Subway (kereta bawah tanah)
Meski sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bekerja, tetapi orang Jepang pantang untuk tidak melakukan apa-apa ketika ada waktu longgar. Ketika ada waktu longgar, warga negara yang pernah hancur lebur pada Perang Dunia kedua itu memanfaatkannya untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat, seperti membaca. Ya, budaya membaca sudah mendarah daging bagi masyarakat Jepang. Para orangtua sudah mengajarkan membaca kepada anak-anaknya sejak dini. Hasilnya, membaca bukan lagi kegiatan yang 'dipaksakan' tetapi sudah menjadi hobi.
Lagi-lagi masyarakat dan pemerintah Indonesia perlu mencontoh Jepang dalam hal pemberantasan buta aksara. Pasalnya, hampir semua orang Jepang hobi membaca. Maka jangan heran bila Anda datang ke Jepang dan masuk ke Densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya dari anak-anak hingga dewasa sedang membaca buku atau koran. Tak peduli mereka mendapat duduk atau berdiri, waktu luang dalam perjalanan selalu dimanfaatkan untuk membaca.
Banyak penerbit yang mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa Inggris, Perancis, Jerman, dsb).
Orang Jepang lebih senang bekerja secara berkelompok sehingga pekerjaan yang dihasilkan jauh lebih baik dan sempurna. Maka, jarang orang Jepang mengklaim hasil pekerjaan yang dilakukan secara berkelompok. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang.

"Ada anekdot bahwa 'satu orang professor Jepang akan kalah dengan satu orang professor Amerika, hanya 10 orang professor Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang berkelompok'. Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan 'rin-gi' adalah ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam 'rin-gi'," terang Feiles.
Sumber: http://jaringnews.com/seleb/umum/6226/membaca-sudah-mendarah-daging-bagi-orang-jepang
Kesimpulan dan pendapat:
            Menurut saya ini yang membedakan Indonesia dengan Jepang, budaya membaca orang-orang jepang tidak dipungkiri mampu membawa Jepang menjadi negara yang jauh lebih maju dibanding Indonesia. Tingkat kemajuan membaca masyarakat Indonesia sangat rendah dibanding dengan Negara-negra lainnya,ini dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia lebih memilih menggunakan waktu luangnya untuk pergi berbelanja ke mall, pergi ke salon, dll dibanding dengan mengisi waktu luang mereka untuk membaca buku di perpustakaan,sedangkan masyarakat Jepang menggunakan waktu luang mereka untuk membaca buku. Masyarakat Jepang tidak hanya membaca buku diperpustakaan tetapi juga mereka terbiasa membaca buku di kendaraan umum,kebiasaan yang sungguh jauh berbeda dengan masyarakat Indonesia.
            Setiap toko buku di Jepang tak pernah sepi dari pengunjung, sedangkan toko di Indonesia terlihat amat sepi, toko buku di Indonesia akan terlihat ramai apabila tahun ajaran baru bagi para pelajar akan segera tiba, mereka mengunjungi toko buku  hanya sekedar untuk membeli perlengkapan sekolah saja. Sungguh sesuatu kenyataan yang sangat menyedihkan.
            Melihat kenyataan tersebut tidak heran jika pada akhirnya Indonesia menjadi Negara yang tertinggal dalam segala hal. Sudah seharusnya masyarakat Indonesia terutama para pelajar dan mahasiswa yang kelak akan menjadi penerus bangsa mulai mencintai pekerjaan yang sepele namun memiliki manfaat yang besar yaitu membaca. Gunakan fasilitas yang diberikan pemerintah Indonesia seperti perpustakaan daerah dan juga buku-buku gratis dengan sebaik mungkin. “hanya dengan membaca kita dapat berkeliling dunia” “buku adalah jendela ilmu” itu adalah beberapa pepatah yang seharusnya dapat meningkatkan kemauan dan kecintaan kita terhadap membaca.