Begitu
pentingnya kejujuran dan kebenaran dalam bisnis dan pengelolaan berbagai
kegiatan, menyebabkan hampir semua organisasi dan lembaga meletakkan
integritas, kejujuran, serta “professional honesty” sebagai faktor paling utama
dalam nilai, budaya organisasi dan kompetensi. Meskipun semua menyadari
pentingnya hal ini ditegakkan, namun realitanya kita menyaksikan betapa
kejujuran dan kebenaran begitu rawan dibelokkan dan dilanggar. Padahal, dengan
kompleksnya dunia kita sekarang, kita semakin menuntut integritas individu yang
kokoh tidak tergoyahkan. Kita tentu bertanya-tanya, apakah nilai integritas
cukup dengan cara dicekoki melalui sesi sosialisasi dan internalisasi budaya
bagi seluruh karyawan? Apa yang salah dengan kebenaran di sekitar kita?
Kita lihat berita
seorang tahanan yang bebas keluar-masuk rutan dalam masa tahanannya, menjadi
pembahasan panjang, dikomentari dan menjadi headline berita. Ya, kebenaran
memang dilanggar, nurani kita pun terusik. Padahal, kita juga sadar bahwa ini
bukan kejadian luar biasa yang baru terjadi. Siapa yang tidak pernah mendengar
kabar angin ada ‘helipad’ di penjara yang kebetulan dihuni oleh salah satu
orang terkaya di Indonesia? Siapa yang tidak tahu bahwa banyak tahanan
berkeliaran dan bisa pulang dengan alasan sakit ke rumah? Memberi dan menerima
insentif atau suap, bukankah juga begitu sering kita temui? Disadari atau
tidak, pemakaian fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi, korupsi waktu,
juga kerap kita lakukan tanpa merasa bersalah, bukan? Jika kita sekarang ramai
membicarakan cara memusnahkan jaringan ‘servis’ yang ada di penjara atau
mematikan korupsi atau tindakan kebohongan yang beredar di setiap sudut di
lingkungan kita, tentu kita pun perlu serius memikirkan kebenaran dalam tiap
langkah dan perbuatan dalam diri kita dan sekitar kita juga.
Pada awal abad
yang lalu penulis Oscar Wilde, menyatakan: ”The truth is rarely pure and never
simple”. Dengan semakin canggihnya praktis bisnis, kita rasakan kebenaran pun
memang semakin samar. Bukan tindakan korupsi yang sudah jelas-jelas salah,
tetapi juga janji yang tidak ditepati, kebenaran yang ditutup-tutupi, jalan
pintas, pinjaman bank dengan agunan yang tidak sama nilainya, bahkan
ketidaksanggupan membayar hutang sering dipindahkan tanggung jawabnya keluar
individu. “Siapa suruh banknya memberi bunga yang mencekik” demikian seorang
debitur yang tidak sanggup membayar cicilan”. Hal yang mencengangkan adalah
kebenaran yang sudah dikuakkan, disaksikan semua orang, bisa-bisanya
diputarbalikkan, atau bahkan dilupakan secara berjamaah.
Kita bisa merasakan betapa jeritan untuk menegakkan kejujuran seolah-olah tindakan menggapai pelangi. Teman saya yang terkenal berintegritas masih mengatakan:”Yah, kalau seorang pejabat mengeluarkan begitu banyak uang untuk memperoleh jabatannya, kemudian melakukan tindak korupsi untuk membayarnya kembali, itu masuk akal…”. Kita lihat bahkan kejujuran atau kebenaran bisa begitu ‘mudah’-nya dibicarakan seakan bisa di “gunting-copot” dari pribadi kita, tergantung situasinya. Seolah-olah, secara personal mungkin seseorang bisa sangat-sangat jujur, tetapi untuk kepentingan politik, kejujuran terpaksa dibelokkan.
Kita bisa merasakan betapa jeritan untuk menegakkan kejujuran seolah-olah tindakan menggapai pelangi. Teman saya yang terkenal berintegritas masih mengatakan:”Yah, kalau seorang pejabat mengeluarkan begitu banyak uang untuk memperoleh jabatannya, kemudian melakukan tindak korupsi untuk membayarnya kembali, itu masuk akal…”. Kita lihat bahkan kejujuran atau kebenaran bisa begitu ‘mudah’-nya dibicarakan seakan bisa di “gunting-copot” dari pribadi kita, tergantung situasinya. Seolah-olah, secara personal mungkin seseorang bisa sangat-sangat jujur, tetapi untuk kepentingan politik, kejujuran terpaksa dibelokkan.
“Ah,teori….”Komentar
ini terdengar di sebuah ruang tunggu sopir di sebuah gedung, ketika wacana
mengenai pembubaran rutan yang berjaringan korupsi, penegakan disiplin, dan
hukuman bagi koruptor dibicarakan. Bicara memang mudah, namun implementasi
adalah tantangan yang sesunnguhnya. Kita tidak bisa menilai sebuah perusahaan,
lembaga atau negara dari pernyataan, slogan dan “company profile”-nya saja.
Budaya yang sebenarnya selalu ‘unspoken’, hanya bisa diobservasi. Realita
kejujuran hanya bisa tergambar pada perilaku, terutama perilaku pemimpinnya,
bagaimana sistem dijalankan, serta simbol-simbol yang ada secara konsisten.
Perusahaan yang
mengutamakan efisiensi, pasti tidak akan sembarangan dalam menandatangani cek
pembayaran dan akan melakukan negosiasi habis-habisan. Perusahaan yang
mengumandangkan servis, tidak mungkin memperlakukan pelanggan atau komplen
pelanggan secara asal-asalan. Pemilik perusahaan IKEA, Ingvar Kamprad, sangat
menjunjung tinggi filosofi perusahaannya yang ekonomis, sederhana dan
fungsionalnya. Meski terkenal kaya raya, ia membuktikan filosifinya dalam
kebiasaan antri kalau ada ‘sale’, bepergian dengan kelas ekonomi, dan menjalankan
hidup secukupnya secara konsisten. Di sini kita belajar untuk senantiasa
mengevaluasi, seberapa jauh kita “menghidupkan” nilai-nilai kebenaran dalam
tindakan sehari-hari? Apakah kebenaran baru sebatas slogan dan hiasan bibir
saja, atau benar-benar sudah bisa terasa, terbaca, terlihat secara nyata oleh
orang lain?
Tanpa kita
sadari, pelajaran kebohongan bisa dimulai sejak kecil. “Bilang saja ayah sedang
tidak di rumah….” Demikian perintah seorang ayah yang menolak berbicara di
telpon. Bisa juga tindakan jujur seorang anak, tidak sempat di ‘reward’ oleh
orang tua ataupun gurunya. Misalnya saja, bila seorang anak mengembalikan
barang yang sangat menarik, milik temannya, disaksikan oleh gurunya, ia tidak
mendapat pujian yang layak, sehingga kita melewatkan momentum pelajaran
kejujuran yang berharga.
Bila saja mulai dari lingkungan kecil, kita dibiasakan dan diberikan contoh kongkrit agar semua orang ‘berkata jujur’, apapun konsekuensinya, kita sudah memulai gerakan kejujuran dengan baik. Apalagi bila kita “menjual” konsep bahwa dengan berkata jujur kita tidak membuat masalah semakin “ribet”. Larry Johnson dalam bukunya ‘Honesty pays”, mengatakan “Do your homework first, open the debate, open your ears, open your mouth and open your mind”. Kita memang perlu membiasakan diri untuk bersikap terbuka untuk menyatakan ketidaksetujuan, protes atau perbedaan pendapatnya. Dengan demikian, kita bisa mengikis sikap defensif dan pembiaran yang bisa membunuh semangat untuk menegakkan kejujuran. Pembuktian terhadap menangnya kejujuran adalah penyelesaian masalah yang jelas dan terbuka, sehingga setiap orang mempunyai spirit dan tetap bisa membuktikan pada dirinya sendiri bahwa sikap jujur lebih baik daripada tidak.
Bila saja mulai dari lingkungan kecil, kita dibiasakan dan diberikan contoh kongkrit agar semua orang ‘berkata jujur’, apapun konsekuensinya, kita sudah memulai gerakan kejujuran dengan baik. Apalagi bila kita “menjual” konsep bahwa dengan berkata jujur kita tidak membuat masalah semakin “ribet”. Larry Johnson dalam bukunya ‘Honesty pays”, mengatakan “Do your homework first, open the debate, open your ears, open your mouth and open your mind”. Kita memang perlu membiasakan diri untuk bersikap terbuka untuk menyatakan ketidaksetujuan, protes atau perbedaan pendapatnya. Dengan demikian, kita bisa mengikis sikap defensif dan pembiaran yang bisa membunuh semangat untuk menegakkan kejujuran. Pembuktian terhadap menangnya kejujuran adalah penyelesaian masalah yang jelas dan terbuka, sehingga setiap orang mempunyai spirit dan tetap bisa membuktikan pada dirinya sendiri bahwa sikap jujur lebih baik daripada tidak.
Kesimpulan dan Pendapat :
Menurut saya
ketika kejujuran sudah tidak ada lagi dalam diri manusia maka seluruhnya akan
hancur dan kacau. Kita ambil satu contoh kecil yang menurut saya nantinya akan
berakibat fatal di kemudian hari. Seorang anak meminta uang kepada orangtuanya
dengan alas an untuk membayar iuran disekolah yang padahal pada kenyataannya
tidak ada uang iuran tersebut, sekali si anak terbiasa maka selanjutnya anak
akan melakukan ketidakjujuran dalam skala yang lebih besar. Jadi benar apabila
ada pepatah mengatakan tanamkan kejujuran sejak dini, Karena apabila sejak dini
kini sudah menanamkan kejujuran maka kedepannya tidak akan adalagi koruptor-koruptor
yang berkeliaran di negri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar